Kamis, 18 Oktober 2012

Buta Matanya Tapi Tak Buta Hatinya

Saat menyepi sendiri, waktunya bermuhasabah.
Teringat pertemuan dengan pedagang tangguh beberapa tahun silam.
Saat itu hari menjelang malam sekitar pukul 21.00WIB, usai makan bersama suami.
Saat perjalanan pulang,  bertemu seorang kakek yang berjualan beberapa ikat sapu lidi, duduk merunduk di trotoar, dibawah pohon rimbun.  Selarut itu dia masih harus mencari nafkah.  Di usianya itu sudah seharusnya dia beristirahat tenang di rumah.
Saya selalu tidak tega setiap kali melihat kakek-kakek, bapak-bapak, atau nenek-nenek yang masih sanggup ikhtiar mencari nafkah.  Kadang saya berfikir kemana anak dan cucunya? Bukankah sudah menjadi kewajiban anak dan cucu menafkahi orang tuanya.
Kami hampiri si kakek. Subhanallah si kakek ternyata buta.  Kami sempat berbincang sebentar.  Dia tinggal 5km dari sana. Tidak terbayang bagaimana dia bisa sampai di sini.  Lalu bagaimana dia pulang nanti.  
Saya membeli 1 ikat, menyerahkan sejumlah uang,- lalu bergegas pergi.  Tak kuasa menahan iba.  Saya malu dengan diri sendiri.  Kadang masih terkalahkan oleh rasa malas dan kebiasaan menunda.
Alangkah kagetnya ketika si kakek menengadah dan berkata "ini kebanyakan neng, ga ada kembalian, ada uang pas ajah?". Dia tidak bisa melihat dengan mata lahirnya,  tapi mata hatinya tidak buta.  Ditengah keterbatasannya dia masih sanggup berupaya dan JUJUR dalam usahanya.
Leherku terasa tercekik, mata mulai terasa panas menahan tangis.  Saya jawab:” kembaliannya ambil aja, Ki” dia menolak, dan tetap minta dibayar dengan uang pas. Maha Suci Allah, masih ada orang yang jujur di jaman ini. Setelah dibujuk si kakek pun luluh lalu berucap syukur.
Ya Allah jagalah beliau hingga sampai ke tempat tinggalnya dengan selamat.  Mudahkan rizki baginya beri kesehatan dan perlindungan-Mu ya Rabb.  Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar